Selasa, 12 November 2013

Penyesalan Seumur Hidup.




Ayah meninggal karena kanker paru-paru stadium
akhir saat saya berusia 6 tahun. Beliau juga meninggalkan ibu dan adiksaya yang masih berusia dua tahun. Sejak saat itu kehidupan kamisehari-hari sangat sulit. Setiap hari ibu bekerja membanting tulang disawah hanya cukup menyelesaikan masalah perut saja.Saat saya berusia 9 tahun, ibu menikah denganseorang pria dan menyuruh kami memanggilnya ayah. Pria tersebut adalahayah tiri saya. Untuk selanjutnya dia yang menopang keluarga kami.Dalam ingatan masa kecil, ayah tiri saya seorangyang sangat rajin, dia juga sangat menyayangi ibu.Pekerjaan apa sajadalam keluarga yang membutuhkan tenaganya akan dia lakukan, selamanyatidak membiarkan ibu untuk campur tangan.Sehari-hari ayah tiri adalah orang yang pendiam.Usianya kira-kira empat puluhan lebih, berperawakan tinggi dan kurus,tetapi bersemangat. Dahinya hitam, memiliki sepasang tangan besar yangkasar, di wajahnya yang kecoklatan terdapat sepasang mata kecil yangcekung.Ayah tiri saya mempunyai suatu kebiasaan, tidakpeduli pergi kemana pun, diatas pinggangnya selalu terselip sebatangpipa rokok antik berwarna coklat kehitaman. Setiap ada waktu senggangdia selalu menghisap rokok menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidaksuka dengan perokok, oleh karenanya saya juluki dia dengan sebutan“setan perokok”.Dalam ingatan saya, ayah tiri selalu tenang dalammenghadapi segala persoalan, tidak peduli besar kecilnya permasalahanselalu dihadapinya dengan santai. Namun hanya karena sebatang piparokok, ayah tiri telah memberikan saya sebuah tamparan yang sangatkeras.Teringat waktu itu ayah tiri baru saja menjadianggota keluarga kurang lebih setengah tahun, suatu hari saya mencuripipa rokoknya untuk saya sembunyikan. Hasilnya, ayah tiri selamabeberapa hari merasa gelisah dan tak tenang, sepasang matanya merahlaksana berdarah. Akhirnya karena saya diinterogasi dengan keras olehibu, dengan berat hati saya menyerahkan pipa rokok itu.Ketika saya menyerahkan pipa itu kehadapan ayahtiri, dia menerimanya dengan tangan gemetaran dan tak lupa diamemberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya berlinangan air mata.Saya sangat ketakutan dan menangis, ibumenghampiri dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali janganpernah menyentuh pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah nyawanya!”Setelah kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku.Saya berpikir, “Ada apa dengan pipa itu sehinggamembuat ayah tiri bisa meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendamterhadap ayah tiri, tidak peduli bagaimanapun jerih payahpengorbanannya, saya tidak pernah menjadi terharu. Sejak usia belia,saya selalu berpendapat ayah tiri sama jahatnya seperti ibu tiri dalamdongeng Puteri Salju. Sikap saya terhadap ayah tiri sangat dingin, acuhtidak acuh, lebih-lebih jangan harap menyuruh saya memanggil dia “ayah”.Tapi ada sebuah peristiwa yang membuat saya mulaiada sedikit kesan baik terhadap ayah tiri.Suatu hari ketika saya baru pulang dari sekolah,begitu masuk rumah segera melihat kedua tangan ibu memegangi perutsambil berteriak kesakitan. Ibu bergulung-gulung di ranjang, butiranbesar keringat dingin bercucuran di wajahnya yang pucat.Celaka! Penyakit maag ibu kambuh lagi! Saya danadik menangis mencari ayah tiri yang bekerja disawah. Mendengarpenuturan kami, dia segera membuang cangkul ditangannya, sandal pun taksempat dia pakai. Sesampai dirumah tanpa berkata apapun segeramengendong ibu kerumah sakit seperti orang sedang kesurupan. Ketika ibudan ayah tiri kembali kerumah, hari sudah larut malam, ibu kelelahantertidur pulas diatas pundak ayah tiri.Melihat kami berdua, ayah tiri dengan nafastersengal-sengal, tertawa dan berkata kepada kami, “Beres, sudah tidakada masalah. Kalian pergilah tidur, besok masih harus bersekolah!” Sayamelihat butiran keringat sebesar kacang berjatuhan bagai butiranmutiara yang terburai, jatuh pada sepasang kaki besarnya yang penuhtanah.Kesengsaraan yang saya alami dimasa kecil, membuat saya memahamipenderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segalaharapan saya pada ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kalimengikuti ujian, saya mengalami kegagalan.“Bu, saya sangat ingin mengulang satu tahun lagi,” pinta saya pada ibu.“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita,adikmu juga masih sekolah di SMA, kesehatan ibu juga tidak baik,pengeluaran dalam keluarga semua menggantungkan ayahmu. Lihatlahsendiri ada berapa gelintir orang di desa ini yang mengenyampendidikan SMA?Ibu berpendapat kamu pulang kerumah untuk membantu ayahmu!”Tetapi saya sudah menetapkan niat, bersikap teguhtidak mau mengalah. Saat itu ayah tiri tidak mengatakan apa-apa, diaduduk dihalaman luar menghisap rokok dengan pipa kesayangannya. Sayatak tahu didalam benaknya sedang memikirkan apa.Keesokan harinya ibu berkata kepada saya, “Ayahsetuju kamu menuntut ilmu lagi selama satu tahun, giatlah belajar!”Ayah tiri menjadi orang yang pertama kali menerima dan membaca suratpenerimaan mahasiswa saya. “Bu, anakmu diterimadiperguruan tinggi!” teriaknya.Saya dan ibu berlari keluar dari dapur. Ibumelihat dan membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun diatidak mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkahlakunya. Malam itu tak tahu mengapa ayah tiri sangat gembira hinggabicaranya juga banyak.Saya mengambil botol arak dimeja makan dan dengansikap sangat hormat menuangkan arak itu satu gelas penuh untuk ayahtiri. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas jerih payahnyaselama satu tahun! Dengan takjub ayah tiri memandang kearah saya, wajahnyapenuh dengan kegembiraan. Sekali mengangkat gelas dan meneguk habis,mulutnya tak henti-hentinya berkata, “Patut, sangat patut sekali!”Tetapi untuk selanjutnya biaya uang sekolahperguruan tinggi sejumlah 4.000 yuan itu membuat keluarga cemas. Ibumengeluarkan segenap uang tabungannya serta menjual dan meminjam kesanakemari, tetap masih kurang 500 yuan.Bagaimana ini? Kuliah akan dimulai satu hari lagi. Saat makan malam,hidangan diatas meja tidak ada seorang pun yangmenyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan ayah tiri beradadisampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya,saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas ibu membuathati saya hancur luluh lantak.“Sudahlah saya tidak mau kuliah! Apa kalian puas?” Saya berdiri dengangusar, dan bergegas masuk kamar, merebahkan diri di ranjang lalu mulaimenangis…….. Saat itu saya merasakan ada satu tangan besar yang kerasmenepuk-nepuk pundak saya, “Sudah dewasa masihmenangis, besok ayah pergi berusaha, kamu pasti bisa kuliah.”Malam itu ayah membawa pipa rokoknya, menghisapseorang diri dihalaman rumah hingga larut malam, percikan api rokokyang sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalamipahit getir kehidupan. Dia memincingkan sepasang mata, raut wajahnyamenyembunyikan perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok denganringan menyebar didepan matanya, mengaburkan pandangan, tiada seorangpun tahu apa yang sedang dia pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinyatidak tenang.Keesokan hari ibu memberitahu saya bahwa ayah tiri pergi ke kabupaten.“Pergi untuk apa?” Percikan bunga api dari harapanhati saya tersirat keluar.“Dia bilang pergi kekota mencari teman menanyakanapakah bisa pinjami uang.”“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala,mulutnya bergumam, “Tidak tahu.”Hari itu saya menunggu didepan desa, memandangkearah jalan kecil yang berkelok-kelok. Untuk kali pertama perasaanhati saya ada semacam dorongan ingin bertemu ayah tiri, dan untuk kalipertama saya merasakan berharganya sosok ayah tiri dalam jiwa saya,masa depan saya tergantung pada dirinya.Hingga malam saya baru melihat ayah tiri pulang.Saat saya melihat wajahnya yang penuh senyuman, hati saya yang selalucemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember airhangat untuk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulangpergi 40 kilometer perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut ibuberkata kepada ayah tiri.Saya mengamati wajah ayah tiri dengan saksama, dan menemukan bahwa diabukan lagi seorang pria yang masih kuat dan kekarseperti dulu. Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru, dahinya hitampenuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus bagaikan kayubakar,penuh dengan tonjolan urat hijau.Memang benar, ayah tiri sudah tua. Denganhati-hati ibu melepaskan sepasang sepatunya yang hampir rusak. Dibawahsinar temaram lampu neon, terlihat sebuah benjolan darah besar yangsudah membiru masuk dalam pandangan saya, tak tertahankan hati sayamerasa bersedih, air mata saya diam-diam menetes keluar……..Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah, ayahtiri mengatakan dia tidak enak badan, diluar dugaan dia tidak bisabangun dari tempat tidur. Dalam perjalanan mengantar saya kuliah ibuberkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung padadiri sendiri. Sebenarnya ayah tirimu itu sangat menyayangimu, diasangat mengharapkanmu memanggilnya ayah! Tetapi kamu……”Suara ibu sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara lirihberkata, “Lain kali saja, Bu!” Setiap kali membayar uang kuliah, ayah tiripasti pergi ke kota untuk meminjam uang. Ketika liburan musim dingindan panas tiba, saya jarang berbicara dengan ayah tiri dirumah, diasendiri juga jarang menanyakan keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayahtiri bisadirasakan setiap orang.Setiap kali kembali ketempat kuliah, ayah tiripasti akan mengantar sampai ketempat yang cukup jauh. Sepanjangperjalanan dia kebanyakan hanya menghisap pipa rokoknya. Semuakata-kata yang ingin saya utarakan kepadanya tidak tahu harus dimulaidari mana.Sebenarnya dalam hati kecil sejak dulu sudahmenerimanya seperti ayah kandung, cinta kasih kadang kala sangat sulituntuk diutarakan! Dengan demikian saya selalu tidak bisa merealisasikanjanji saya terhadap ibu.Pada liburan tahun baru, rumah terkesan ramaisekali. Saat itu saya sudah kuliah di semester-6. Adik meminta sayabercerita tentang hal-hal menarik di kota, ayah tiri duduk dibelakangibu, sibuk mengeluarkan abu tembakau setelah itu memasukkan tembakaukedalam pipa, wajahnya penuh dengan senyum kebahagiaan. Saya berceritatentang keadaan kota, adik membelalakkan mata dengan penuh rasa ingintahu.“Ah, teman sekelas kakak kebanyakan sudahmempunyai ponsel dan laptop, sedangkan kakak sebuah arloji pun tidakpunya.......” Pada akhirnya saya mengeluh dengan nada bergumam. Saatitu saya melihat wajah ayah tiri sedikit tegang, segera ada perasaanmenyesal telah mengucapkan perkataan itu.Saat liburan usai saya harus meninggalkan rumahkembali kuliah. Seperti biasa ayah tiri mengantar kepergian saya.Sepanjang perjalanan beberapa kali ayah tiri memanggil saya, tetapiketika saya menanggapi, dia membatalkan berbicara, sepertinya mempunyaibeban pikiran yang sangat berat. Saya sangat berharap ayah tiri bisamemulai topik pembicaraan, agar bisa berkomunikasi baik dengannya,namun saya selalu kecewa.Ketika berpisah, ayah tiri berkata dengan kaku,“Saya tidak mempunyai kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidupkalian bahagia, saya sangat menyesalinya. Jika engkau sukses kelak,harus berbakti pada ibumu, biarkan dia bisa menikmati hari tua denganbahagia…” Saya menerima koper baju yang disodorkannya.Tiba-tiba saya melihat sepasang matanyaberkaca-kaca. Hati saya menjadi trenyuh, mendadak merasakan ada semacamdorongan hati yang ingin memanggilnya “Ayah”, tetapi kata yang telahmengendap lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelankembali.Ketika saya telah berjalan jauh, saya lihat ayahtiri masih berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikanpatung. Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akanmemanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkanlagi. Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya.Dua bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwaayah tiri meninggal dunia. Bagaikan halilintar di siang bolong, benaksaya menjadi kosong, serasa dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulangdengan perasaan linglung, yang menyambut saya dirumah adalah pipa rokokberwarna coklat kehitaman yang tergantung di tembok.“Satu-satunya hal yang paling disesali ayah adalah tidak seharusnyamenamparmu, setiap kali mengantarmu kembali ke kampus, dia sangatingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak bisa keluar darimulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan dirinya,kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah kesedihanseumur hidupnya!” Dengan hati pedih ibu bercerita.Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hatisaya ambil pipa yang tergantung di tembok itu,pandangan mata saya kabur karena air mata, merasakan kesedihan yangmenusuk hati. Ibu juga tergerak hatinya, dia lalu bercerita tentangmisteri pipa rokok itu…Tiga puluh tahun lalu, ayah tiri hidup salingbergantung dengan ayahnya. Ibu dengan ayah tiri adalah temansepermainan sejak kanak-kanak. Setelah mereka tumbuh dewasa, merekasudah takterpisahkan lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangankeras kakek, sebab keluarga ayah tiri terlalu miskin.Karena ibu dan ayah tiri dengan tegasmempertahankan hubungan mereka, kakek terpaksa mengajukan sejumlahbesar mas kawin kepada keluarga ayah tiri baru mau merestuipertunanganmereka.Demi anak satu-satunya, ayah dari ayah tiri itupergi bekerja di perusahaan penambangan batu bara. Malang tak dapatditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang runtuh danmenimbun sang ayah untuk selamanya. Barang peninggalan satu-satunyahanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup.Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yangpaling dia hormati dan sayangi adalah ayahnya. Kemudian ayah tirimenyalahkan dirinya dan merasakan penyesalan yang mendalam hingga takingin hidup lagi.Keesokan harinya dia diam-diam meninggalkan rumahdengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya…Dua tahun kemudian ayah tiri kembali lagikekampung halamannya, tetapi ibu satu tahun sebelum ayah tiri kembalidipaksa untuk menikah dengan ayah kandung saya. Untuk selanjutnya ayahtiri tidak menikah, yang menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokokyang tidak pernah lepas darinya.Setelah ayah kandung saya meninggal, ayah tirimemberanikan diri menanggung segala tanggung jawab untuk menjaga ibu,saya dan adik. Sejak awal dia menolak mempunyai anak sendiri, diaberkata kami ini adalah anak kandungnya.Selesai mendengarkan penuturan ibu, tak terasawajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak menduga jika pipa rokokitu bukan hanya memiliki kisah berliku perjalanan cinta mereka, namunjuga mengandung ingatan yang amat berat bagi seumur hidup ayah tiri!“Ayah meninggal dunia karena pendarahan otak,sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya memandang Ibu dengantangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti maksudnya hendakmemberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Didalam kotak itu terdapatbeberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud menyuruhmumembayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin berhutang padaorang lain….”Dengan sesenggukan saya menerima kotak kayu itudan membukanya dengan perlahan. Ada delapan lembar kertas didalamnya.Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi lemas terkulaidiatas ranjang.Ibu saya buta huruf, kertas-kertas yang ada dalamkotak itu bukan surat hutang seperti yang dikatakannya, melainkan tandaterima jual darah! Ayah tiri telah menjual darahnya! Kepala saya terasapusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu itu terjatuh, dari dalamnyamenggelinding keluar sebuah alroji baru…“Ayah! Ayah..” Berlutut didepan kuburan ayah tiridengan air mata bercucuran, saya hanya bisa menepuk-nepuk onggokantanah kuning yang ada dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun sayaberteriak-teriak, tetap tak akan memanggil kembali bayangannya.Ketika saya pergi meninggalkan rumah, saya membawa pipa rokok coklatkehitaman itu, saya akan mendampingi pipa ini untukseumur hidup saya, mengenang ayah tiri untuk selamanya. Tamat

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar